Pemikiran Falsafah dan Penjelasan

Pemikiran Falsafah

Pemikiran Falsafah – Filsafat merupakan sebuah proses, bukan sebuah produk yakni berpikir kritis, aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsp logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak .

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab: فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia

Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk, dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = kebijaksanaan, س** ایرانیsehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. 

Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.

Pemikiran Filsafat Al Farabi 

Selama ini, sebagian besar diantara muslim yang awam pengetahuannya tentang al-Farabi mungkin mengenal al-Farabi hanya sebatas seorang filosof muslim saja, yang banyak menuliskan pemikirannya seputar aspek filosofis, tanpa pernah menfokuskan diri pada aspek lainnya, terutama dalam konteks ini mengenai pendidikan Islam. 

Pemahaman yang demikian nampaknya tidaklah benar. Dalam beberapa karyanya, ternyata al-Farabi juga mencurahkan buah pikirannya seputar pendidikan Islam.

Sejarah kehidupan al-Farabi menunjukkan bahwa, dalam melahirkan beberapa karya besarnya, al-Farabi terinspirasi dari tulisan sejumlah filsuf yunani, seperti Plato. 

Salah satu karya besar Plato yang dipelajari dengan serius oleh al-Farabi adalah bukunya yang berjudul Republic. Buah pikiran Plato yang ada dalam buku tersebut dirangkum oleh al-Farabi, kemudian ia melahirkan pemikirannya sendiri mengenai beberapa item terkait pendidikan Islam .

Pemikiran filosofis pendidikan Islam al-Farabi secara umum tercantum dalam karyanya yang berjudul Risalah fi al-‘Aql. Buku ini menguraikan secara panjang lebar mengenai konsep akal (intelijensia) dalam perspektif al-Farabi. 

Menurutnya, akal itu dapat digolongkan ke dalam 4 dimensi atau bentuk, yaitu :
1. Akal potensial ( potential intellect/ ‘aql bi al-quwwa )
2. Akal aktual ( actual intellect/ ‘aql bi al-fi’l)
3. Akal capaian ( acquired intellect/ ‘aql mustafad)
4. Akal aktif (active intellect/ ‘aql al-fa’al)

Mengenai tujuan pemikiran filsafat al farabimemandang pendidikan sebagai salah satu elemen atau fenomena yang penting dalam kehidupan sosial. 

Ia memandang bahwa pendidikan itu mesti diberikan sedini mungkin dalam rangka menyiapkan anggota masyarakat yang memperoleh keberuntungan (a beneficial member of society). 

Seluruh aktifitas pendidikan harus diarahkan kepada usaha transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan praktis yang dilaksanakan dalam periode dan budaya tertentu.

Lebih lanjut, al-Farabi menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membimbing tiap-tiap individu ke arah kesempurnaan hidup, karena manusia memang diciptakan untuk tujuan ini. 

Keberadaan manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesempurnaan hidup tertinggi. 

Menurut Farabi, manusia sempurna (al- insan al -kamil) adalah orang yang memiliki teoritis kebajikan, pengetahuan intelektual dan moral praktis, yang kemudian diterapkan secara sempurna dalam tingkah lakunya sehari-hari. 

Dalam pandangan al-Farabi, pendidikan merupakan kombinasi dari kegiatan belajar dengan tindakan praktis, pengetahuan yang didapatkan harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Kesempuranaan manusia tulis al-Farabi dalam Mabadi’ ‘Ara Ahl-al-Madinah al-Fadhilah adalah sesuai dengan watak alamiah manusia itu sendiri, tidak akan tercapai apabila tidak adanya interaksi sosial dengan manusia lain. 

Interaksi ataupun kerjasama itu mempunyai tiga bentuk, yaitu kerjasama antar penduduk dunia pada umumnya, kerjasama dalam suatu komunitas (ummah), dan kerjasama antar penduduk kota (madinah).

Pemikiran filsafat al ghazali 

Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. 

Di dilahirkan di Thusi (sekarang dekat Meshed) salah satu daerah Khurasan (sekarang masuk wilayah Iran) tahun 450 H (1058 M).2 Di tempat ini pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./ 111 M,3 dalam usia yang relatif belum terlalu tua yaitu 55 tahun.

Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, al-Ghazali banyak berkarya di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad. 

Namun, setelah itu dalam kurun dua tahun al-Ghazali memahami filsafat dengan seksama, hampir setahun ia terus merenungkannya, mengulang-ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya, di samping meneliti kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya. 

Pada saat itulah al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipuan-tipuan, serta membedakan unsur yang benar dan yang cuma khayatan.25 Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan klasifikasi filosof sekaligus memberikan penilaian (vonis kekafiran) kepada mereka;

26 Pertama, pengikut ateisme (al-Dahriyyun); kelompok ini merupkan golongan filosof yang mengingkari Tuhan yang mengatur alam ini dan menentang keberadaan-Nya. Mereka mempunyai dugaan kuat bahwa alam telah ada dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. 

Mereka berkeyakinan bahwa bahwa hewan berasal dari sperma dan sperma berasal dari hewan, dari zaman dahulu dan selamanya tetap seperti itu. Menurut al-Ghazali mereka itu orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. 

Kedua, Pengikut faham naturalisme (al-Thabi’iyyun); mereka merupakan golongan filosof yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan tumbuh-tumbuhan (alam atau thabi’ah) dan menyaksikan tanta-tanda kekuasaan Tuhan, wira’i, tidak makan sesuatu kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri.

Beliau bekerja sebagai memintal benang wol dan menjualnya di tokonya di Thus. Dengan kehidupan yang sederhana itu ayah menekuni sufi, dan menjadi ahli tasawuf yang hebat di tempatnya. 

Ketika sakit keras, sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya seorang ahli sufi bernama Ahmad bin Muhammad Al-Rozakani agar dia bersedia mengasuh al-Ghazalidan saudaranya yang bernama Ahmad.

Itulah informasi yang bisa kami bagikan, semoga informasi yang kami bagikan ini bermanfaat dan terima kasih telah membaca.  

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *