Islam Politik: Gambaran Pada Saat Ini

Islam Politik

Islam politik adalah setiap interpretasi Islam sebagai sumber identitas dan tindakan politik. Ini dapat merujuk pada berbagai individu dan/atau kelompok yang menganjurkan pembentukan negara dan masyarakat menurut pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip Islam.

Ini juga dapat merujuk pada penggunaan Islam sebagai sumber posisi dan konsep politik. Islam politik merupakan salah satu aspek kebangkitan Islam yang dimulai pada abad ke-20, dan tidak semua bentuk aktivitas politik umat Islam dibahas di bawah rubrik Islam politik.

Sebagian besar penulis akademis menggunakan istilah Islamisme untuk menggambarkan fenomena yang sama atau menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian.

Ada upaya baru untuk membedakan antara Islamisme sebagai gerakan politik berbasis agama dan Islam politik sebagai pemahaman modern nasional tentang Islam yang dimiliki oleh aktor sekuler dan Islamis.

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota).

Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu.

Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusiatersebut dinamai politikus(siyasiyun).

Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amrimengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran.

Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.

Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat.

Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

Politik Islam Dijalankan Pemerintah Kolonial Atas Usulan

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik Islam sebagai strategi untuk memahami dan menguasai pribumi Indonesia. Politik Islam ini muncul karena pemerintah kolonial Belanda dihadapkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk pribumi beragama Islam. Apa itu politik Islam Hindia Belanda dan bagaimana sejarahnya?

Munculnya politik Islam Hindia Belanda Selama menjajah Indonesia, Belanda telah menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok Islam di berbagai daerah, seperti Perang Padri (1821-1827), Perang Diponegoro (1825 -1830), dan Perang Aceh (1873-1903).

Demi menanggulangi masalah tersebut, pemerintah Hindia Belanda mencari solusi dengan menjalankan aksi kristenisasi. Hal itu dianggap mampu menyelesaikan segala persoalan sehingga proses kolonialisasi dapat terus berlangsung.

Kurangnya pengetahuan tentang Islam membuat Pemerintah Hindia Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Sebab, Belanda tidak memiliki cukup pengetahuan mendalam mengenai Islam dan sistem sosial yang ada dalamnya.

Ide mengenai politik Islam muncul setelah kedatangan Snouck Hurgronje di Hindia Belanda pada 1889. Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang ahli mengenai Islam.

Melalui Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda memperoleh banyak pengetahuan mengenai Islam sehingga mampu melawan potensi kekuatan Islam. Dikarenakan hal tersebut, Snouck dijuluki arsitek keberhasilan politik Islam legendaris pada masa kolonial Belanda.

Pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi dengan tujuan memahami dan menguasai pribumi. Snouck Hurgronje dengan ide politik Islam yang ditawarkannya, berhasil menemukan strategi untuk memahami dan menguasai penduduk pribumi.

Kemudian, Belanda mulai tegas dalam membuat kebijakan terhadap Islam dengan berpedoman pada tiga pilar politik Islam milik Snouck Hurgronje, yaitu: Kebijakan netral terhadap agama Kebijakan politik asosiasi Kebijakan politik pengawasan.

Berikut ini penjelasannya: Kebijakan netral terhadap agama Islam dibedakan ke dalam dua golongan, yakni Islam religius dan Islam politik.

Untuk menghadapi golongan Islam religius, pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk toleransi dan tidak mencampuri urusan keagamaan. Hal itu dikarenakan golongan Islam religius dinilai tidak memiliki potensi ancaman yang mengganggu stabilitas dan keamanan. Kebijakan politik asosiasi Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan adat masyarakat Indonesia untuk mendekatkannya dengan kebiasaan atau budaya Belanda.

Jika pribumi telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda, tujuan pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai Islam dapat tercapai. Sebab, pemerintah kolonial Belanda menganggap telah berhasil melepaskan rakyat pribumi dari batasan yang dibuat oleh aturan Islam.

Bagi pemerintah Hindia Belanda, aturan-aturan Islam berpotensi memicu pribumi melakukan perlawanan terhadap kekuasaannya.

Kebijakan politik pengawasan Pemerintah Hindia Belanda dengan teguh berpedoman pada prinsip politik Islam rancangan Snouck Hurgronje, yaitu tidak boleh mentoleransi timbulnya gerakan fanatisme Islam yang dianggap berpotensi menggoyahkan kekuasaan.

Untuk itu, pemerintah kolonial Belanda mengawasi ketat orang-orang Islam yang dipandang sebagai gerakan fanatik Islam, seperti Pan Islam dan Tarekat. Pan Islam dan Tarekat dianggap sebagai gerakan berbahaya yang akan mengancam eksistensi Belanda di bumi Nusantara.

Oleh karena itu, berbagai bentuk pengawasan dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, salah satunya dengan mengawasi para haji dan orang-orang Indonesia yang bermukim di Mekkah.

Politik Islam di Indonesia Saat Ini

“Pada dasarnya, semua partai politik di Indonesia menerapkan strategi politik identitas untuk memperoleh kemenangan dan orang yang berpolitik menunjukkan identitasnya masing-masing.

Hal yang tidak dibenarkan adalah menggunakan kekuatan politik berupa tindak kekerasan terhadap suatu kelompok untuk menekan, meremehkan, apalagi membuat kelompok lain menjadi terpinggirkan.”

Kalimat tersebut disampaikan oleh Dr. H. Immawan Wahyudi, M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) selaku pemateri dalam Pengajian Rutin Sabtu Pagi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Nitikan.

Pengajian bertajuk “Islam dan Politik” ini berlangsung di Masjid Muthohhirin pada Sabtu, 17 September 2022.

Dalam hal ini, urusan politik dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab Islam bukanlah agama yang hanya mengatur persoalan ibadah individu saja melainkan mengajarkan segala urusan hidup.

Salah satunya persoalan politik kenegaraan sebagai alat untuk mengontrol agar para penguasa tidak melakukan hal-hal yang merugikan rakyat, serta mencegah adanya kezaliman.

Ustaz Wahyudi menyampaikan tiga firman Allah Swt. yang menjelaskan tentang kekuasaan yaitu Surah Ali-Imran ayat 26, Ali-Imran ayat 189, serta Al-Baqarah ayat 282.

Ia menerangkan bahwa isu politik dalam Al-Qur’an menjadi isu penting, dan ketiga ayat tersebut dinilai relevan dengan situasi politik di Indonesia saat ini yang sangat dikuasai oleh oligarki.

Menurutnya, implementasi berpolitik dengan Islam di Indonesia terdapat dialektika politik yang dimanfaatkan untuk memecah belah umat Islam. Misalnya dengan memakai terminologi asing yang salah secara konsep dan digunakan secara tidak benar. Di antaranya terorisme, radikalisme, intoleransi, dan politik identitas.

Ia memaparkan bahwa istilah-istilah tersebut digunakan sesuka hati tanpa berlogika dan tidak ada etika. Misalnya penggunaan istilah radikal yang memberikan stigma buruk kepada orang lain, yang justru masuk dalam perilaku intoleransi.

“Radikalisme merupakan salah satu istilah untuk meneror umat Islam. Salah satunya yang pernah dialami oleh Prof. Dien Syamsudin dikategorikan tokoh radikal karena sikap kritisnya sebagai guru besar,” ujarnya.

Sedangkan dalam urusan intoleransi, kata Ustaz Wahyudi, sebenarnya istilah yang kurang tepat dengan kultur sosial Indonesia yang masyarakatnya ramah, suka bergotong-royong, dan saling membantu orang lain.

“Beberapa perilaku umat Islam yang kurang baik menyebabkan umat Islam terus menerus dirundung stigma buruk, terutama pada hal toleransi, radikal, teroris, dan dalam politik identitas,” tandasnya.

Terakhir, ia menyampaikan lima hal penyebab umat Islam mudah diadu domba hingga sulit untuk bersatu kembali. Pertama, umat Islam sering tidak bisa menahan diri dalam perbedaan pendapat yang kemudian dilanjutkan dalam sikap “minna” dan “minhum”.

Kedua, pandangan-pandangan yang secara kaku digunakan untuk mengklaim diri paling islami dan kelompok sesat jalan.

Ketiga, tidak memahami situasi kondisi politik dan mudah diarahkan kepada suatu tujuan politik tertentu yang jelas-jelas bertentangan dengan aspirasi politik umat Islam. Keempat, adanya kecenderungan umat Islam untuk masuk “surga pragmatisme materialistic” untuk kepentingan duniawi.

Kelima, lambatnya regenerasi ke pimpinan yang berimplikasi pada terhambatnya kemajuan sosial ekonomi dan sosial politik.

Demikianlah pembahasan mengenai Islam Politik. Semoga berguna untuk menambah khazanah pengetahuan kita semua, sekian terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *