Hukum Adat: Pembagian, Unsur Serta Sumber

Hukum Adat

Hukum Adat – Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan bersumber dari nilai dan norma yang ada di tengah masyarakat. Pada sistem hukum adat tidak tertulis dan dibentuk dari kesepakatan-kesepakatan norma yang ada di masyarakat.

Hukum adat diakui oleh negara sebagai hukum yang sah dan memiliki tujuan untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adat juga memiliki sumber-sumber hukum, seperti adat istiadat atau kebiasaan masyarakat.

Di Indonesia dipengaruhi oleh budaya dan agama yang ada di masyarakat, seperti hukum adat suku-suku di Indonesia dan hukum Islam. Meskipun hukum adat tidak tertulis, namun hukum ini telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakatnya.

Sistem hukum adat memiliki peran penting dalam mengatur jalannya pemerintah dan menciptakan keadilan dan ketertiban di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, hukum adat harus ditaati oleh seluruh warga negara dan pemerintah harus menjalankan hukum adat dengan adil dan bijaksana.

Karakteristik dan Contoh Sistem Hukum Adat

  • Kekuatan Normatif

Sistem hukum adat memiliki kekuatan normatif yang kuat di dalam masyarakat adat. Norma-norma hukum adat dihormati dan diikuti oleh anggota masyarakat sebagai bagian dari tradisi dan identitas budaya mereka.

Contoh: hukum adat di suku-suku Asmat di Papua, Indonesia, mengatur aturan-aturan terkait pemilikan tanah, perkawinan, warisan, dan penyelesaian konflik.

  • Berpusat pada Komunitas

Sistem hukum adat berfokus pada kepentingan komunitas dan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan spiritual dalam pengambilan keputusan hukum. Keterlibatan komunitas dan konsensus sering kali menjadi prinsip penting dalam penegakan hukum adat.

Contoh: Di suku Maasai di Kenya dan Tanzania, sistem hukum nya mempertimbangkan kepentingan kelompok dan komunitas, dengan peran pemimpin adat dalam menyelesaikan konflik dan mempertahankan tanah adat.

  • Keunikan dan Fleksibilitas

Setiap sistem hukum adat memiliki karakteristik dan norma yang unik sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat yang mengamalkannya. Sistem hukum adat cenderung fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan sosial dan lingkungan.

Contoh: Di berbagai suku di Afrika, sistem hukum adat mengatur masalah pernikahan, perceraian, harta warisan, dan praktik adat lainnya yang mencerminkan keunikan budaya setempat.

  • Hubungan dengan Sistem Hukum Formal

Dalam beberapa kasus, sistem hukum ini beroperasi secara paralel dengan sistem hukum formal yang diterapkan oleh negara. Interaksi antara kedua sistem hukum ini dapat bervariasi, mulai dari harmoni hingga konflik.

Contoh: Di beberapa negara, seperti Indonesia dan India, hukum adat diakui secara resmi dan diatur oleh undang-undang nasional untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Sumber Hukum Adat

  • Sumber Pengenal

Pertama, sumber pengenal yang menurut B Ter Haar merupakan keputusan penguasa adat. Namun, pernyataan ini sendiri dibantah oleh Mohammad Koesnoe.

Dimana, menurut beliau sumber pengenal pada hukum adat sendiri adalah apa yang sebenarnya terlaksana masyarakat setempat di dalam pergaulan hukum, baik perilaku atau tingkah laku yang hanya sekali dilakukan maupun berulang kali.

  • Sumber Isi

Kedua, sumber isi. Sumber hukum adat yang satu ini merupakan kesadaran hukum yang ada dan hidup di tengah masyarakat adat setempat.

  • Sumber Pengikat

Ketiga, sumber pengikat yang merupakan rasa malu yang timbul akibat berfungsinya sistem nilai yang ada di dalam masyarakat adat yang bersangkutan maupun berbagai upaya lainnya yang pada akhirnya terkena pada orang yang bersangkutan jika tidak mematuhi atau melanggar aturan dan hukum adat yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa kekuatan mengikat yang ada pada hukum adat adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan.

Unsur Hukum Adat

  • Unsur Material

Unsur yang pertama adalah unsur material yang menandakan bahwa di dalam hukum adat terdapat kebiasaan maupun tingkah laku yang tetap dan dilakukan secara berulang. Hal ini berarti pula bahwa sebuah rangkaian perilaku yang sama.

  • Unsur Intelektual

Unsur yang kedua adalah unsur intelektual yang menandakan bahwa di dalam hukum adat terdapat kebiasaan yang harus dilakukan karena kelompok masyarakat yang ada di dalamnya memiliki keyakinan bahwa hal tersebut dilakukan dengan objektif.

Hukum Adat Menurut Para Ahli

Hukum adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum kebiasaan yang hal ini berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat atau dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh masyarakat setempat.

Hukum adat sendiri juga diakui pula oleh negara sebagai bentuk hukum sah. Dimana, setelah negara Indonesia merdeka, hukum adat menjadi salah satu dari beberapa aturan yang dibuat dan terdapat di dalam UUD 1945.

Seperti halnya yang tertulis dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, yang menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara mengakui serta menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan juga prinsip NKRI seperti halnya yang diatur di dalam undang-undang.

Hukum ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu hukum tertua jika dibandingkan dengan sistem hukum lain yang ada di negara Indonesia karena telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakatnya.

  • Prof. Mr. B. Terhaar Bzn

Menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, hukum adat merupakan keseluruhan peraturan yang menjelma ke dalam keputusan yang diambil oleh kepala adat serta berlaku spontan terhadap masyarakat di dalamnya.

Beliau melalui teori “Keputusan” yang terkenalnya juga menyatakan bahwa dalam melihat apakah sebuah adat istiadat yang ada merupakan sebuah hukum adat, maka terlebih dahulu perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap pihak yang melanggar peraturan yang ada.

  • Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven

Definisi hukum adat menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven adalah keseluruhan aturan tingkah laku sebuah masyarakat yang berlaku serta memiliki sanksi dan juga belum dikodifikasikan.

  • Dr. Sukanto, S.H.

Selanjutnya, definisi hukum adat menurut Dr. Sukanto, S.H. adalah sebuah kompleks adat yang pada umumnya tidak ditulis atau dikitabkan, tidak dikodifikasikan serta memiliki sifat memaksa. Hukum ini juga memiliki sanksi oleh sebab itu ada pula akibat hukumnya.

  • Sukardi

Sukardi dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia juga menjelaskan, hukum adat adalah keseluruhan kaidah maupun norma baik yang dibuat secara tertulis ataupun tidak tertulis.

Berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia atau adat istiadat yang di dalamnya digunakan untuk mengatur tingkah laku kehidupan masyarakatnya, sanksi juga akan dikenakan pada pihak yang melanggarnya.

  • Mawardi Muzamil dan Anis Mashdurohatun

Selanjutnya, mantan Guru Besar Hukum Adat Universitas Airlangga, Mawardi Muzamil dan Anis Mashdurohatun melalui bukunya yang berjudul Perbandingan Sistem Hukum juga menjelaskan definisi hukum adat sebagai sebuah sistem hukum yang ada dan telah lama berlaku di Indonesia.

  • Mohammad Koesnoe

Mohammad Koesnoe juga mengatakan awal mula adanya hukum adat sendiri di Indonesia tidak diketahui secara pasti.

Namun, jika dibandingkan dengan bentuk hukum lainnya, seperti hukum Barat dan juga hukum Islam, hukum yang satu ini merupakan bentuk hukum tertua berdasarkan usianya.

Dimana, sebelum tahun 1927 sendiri hukum adat telah ada dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Hingga setelah tahun 1927, hukum adat akhirnya dipelajari serta diperhatikan secara seksama sebagai pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda, setelah teori resepsi yang ada dikukuhkan pada pasal 134 ayat 2.I.S. 1925.

Hukum Adat Dalam Islam

Dalam Islam, secara literal kata adat (adah) berarti kebiasaan, adat atau praktik. Dalam bahasa Arab, kata tersebut sinonim dengan kata urf, yaitu sesuatu yang diketahui.

Abu Sinnah dan Muhammad Mustafa Syalaby misalnya mengemukakan defenisi secara literal tersebut untuk membedakan antara kedua arti kata tersebut.

Keduanya berpendapat bahwa kata adat mengandung arti “pengulangan” atau “praktik” yang sudah menjadi kebiasaan, dan dapat dipergunakan, baik untuk kebiasaan individual (adah fardhiyah) maupun kelompok (adahjama’iyah).

Sementara kataurf didefinisikan sebagai “praktik berulang-ulang yang dapat diterima oleh seseorang yang mempunyai akal sehat”. Oleh karena itu, menurut arti tersebut, urf lebih merujuk kepada suatu kebiasaan dari sekian banyak orang dalam suatu masyarakat, sementara adat lebih berhubungan dengan kebiasaan kelompok kecil orang tertentu.

Dari kedua defenisi tersebut dapat dipahami bahwa urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari urf. Suatu urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada individu atau kelompok tertentu.

Urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, melainkan muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, namun demikian, beberapa pakar memahami kata adat dan urf sebagai dua kata yang tidak berlainan.

Subhi Mahmasani misalnya, mengatakan bahwa urf dan adat mempunyai pengertian yang sama, yaitu sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat umum dan golongan masyarakat.

Pengertian tersebut digunakan untuk memahami terma ini. Oleh karena itu, kedua kata tersebut (adat dan urf) diartikan sebagai adat atau kebiasaan.

Di kalangan Islam, ulama membagi adat atau urf kepada dua bagian, yaitu:

  • Dari segi bentuk

Urf dari segi bentuknya dibagi menjadi dua macam, yaitu urf al-lafdzi dan urf al-amali. Al-Urf al-lafdzi merupakan kebiasaan yang terdapat di masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu, misalnya kebiasaan orang Arab mengatakan “ lahm” (daging) yang berarti daging sapi, padahal kata tersebut mencakup seluruh daging.

Sedangkan urf al-amali, merupakan kebiasaan yang berupa perbuatan yang sudah dikenal dalam masyarakat. Misalnya, seseorang membeli “pakaian” di toko tidak dibarengi dengan ijab dan qabul, padahal menurut ketentuan jual beli harus dibarengi dengan ijab dan qabul.

Karena, kebiasaan yang berlaku di masyarakat, ketika seseorang telah membayar harga yang disepakati, dianggap telah terjadi ijab dan qabul.

  • Dari segi keabsahan sebagai dalil hokum

Dilihat dari segi keabsahannya sebagai dalil hukum, urf dibagi menjadi dua macam, yaitu urf shahih dan urf fasid.

Urf shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam. Misalnya, pemberian hadiah kepada seorang perempuan yang telah dipinang.

Sedangkan urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan agama Islam. Misalnya, kebiasaan sebagian masyarakat di Ambon pada malam penghabisan tahun dan menyambut tahun baru dengan pesta minuman keras.

Urf shahih dilihat dari segi cakupannya dibagi lagi menjadi dua, yaitu al-urf al-am, al-urf al- khas, dan al-urf al-syar’i.

Al-urf al-am merupakan kebiasaan yang berlaku secara umum di kalangan masyarakat, misalnya dalam masyarakat Islam ada ucapan “ assalamu alaikum” dan lain-lain.

Agama Islam sendiri dibawa oleh pedagang yang berasal dari Maaka pada abad ke 14 dan juga awal abad ke 15. Pengaruh dari agama Islam sendiri dapat dilihat melalui hukum perkawinan yang membahas mengenai cara melangsungkan serta memutuskan sebuah perkawinan.

Pengaruh dari hukum perkawinan agama Islam ini sendiri juga dapat dilihat melalui hukum adat yang ada di beberapa daerah Indonesia seperti halnya Jawa dan juga Madura. Di daerah Aceh juga pengaruh dari agama Islam sangatlah kuat.

Namun, pengaruh ini sendiri berbeda-beda tergantung daerahnya, seperti halnya di beberapa daerah walaupun sudah diberlakukannya hukum perkawinan Islam, tetap melakukan upacara perkawinan berdasarkan hukum adat. Seperti contohnya di Lampung, Tapanuli.

Demikianlah pembahasan mengenai hukum adat. Semoga dapat menambah pengetahuan kita bersama, sekian terima kasih.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *