Mengenal Toponimi: Seni dan Ilmu di Balik Penamaan Tempat

Toponimi

Toponimi adalah bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas tentang asal-usul penamaan nama tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alam (sungai, lautan, dan pegunungan) yang buatan (kota, gedung, jalan, jembatan).

Toponimi berkaitan dengan bidang etnologi dan kebudayaan. Pada beberapa kasus, nama-nama jalan berkaitan dengan sejarah, mitos, maupun legenda suatu tempat. Beberapa sistem penamaan jalan di Indonesia banyak diadopsi melalui nama-nama pahlawan di nusantara.

Toponimi berasal dari bahasa Yunani tópos yang berarti tempat dan diikuti oleh ónoma yang berarti nama.

Toponimi berkaitan dengan berbagai fenomena sosial, budaya, dan peristiwa yang dialami manusia. Manusia yang bermukim pertama kali di suatu daerah tentunya memberikan nama berdasarkan fenomena di lingkungan tersebut.

Nama diberikan berdasarkan apa yang terlihat, seperti pohon, sungai, gunung, dan bukit yang dominan di daerah itu. Lalu, nama-nama daerah juga diciptakan dari mitos dan cerita rakyat.

Kemampuan memberikan nama yang secara bahasa enak didengar, dan secara keilmuan menjadi pintu untuk mengenal lebih jauh hakikat alam yang dinamai, merupakan suatu kreativitas budaya.

Dengan kata lain, terdapat sejarah panjang dari asal usul penamaan tempat. Pemberian nama daerah bertujuan agar mudah dikenali oleh orang lain dan dapat menjadi ciri khas budaya suatu daerah.

Toponimi tidak begitu dikenal oleh masyarakat. Salah satu factor penyebabnya adalah kurangnya sejarah atau cerita dari nama daerah tersebut.

Djajasudarma (1999: 30) menyatakan bahwa nama juga diartikan sebagai media yang melahirkan gagasan atau mengandung gagasan yang mengandung makna. Nama juga merupakan bagian dari bahasa yang digunakan sebagai penanda identitas.

Nama biasanya dimulai dengan orang, tempat, benda, daerah, binatang, dan sebagainya. Penamaan tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang daerah tersebut.

Hubungan antara aktivitas manusia dengan lingkungan alamnya dihubungkan oleh pola budaya manusia. Pola budaya ditangkap secara akurat dengan mengidentifikasi nama tempat (toponim) budaya suatu Negara menggunakan bahasa dengan dasar yang kuat.

Uraian di atas menunjukkan bahwa konsep penamaan suatu tempat merupakan bentuk asosiasi antara bahasa, budaya, dan akal manusia (Forde, 2013).

Toponimi Peta

Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya peta (sehingga berkaitan dengan Kartografi) dalam peradaban manusia yang dimulai pada zaman Mesir kuno.

Untuk memberikan keterangan (nama) pada unsur yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk ‘merekam’ dari bahasa verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol.

Sejarah mencatat nama-nama Comtey de Volney (1820), Alexander John Ellis (1848), Sir John Herschel (1849) dan Theodore W. Erersky (1913) yang terus berusaha untuk membakukan proses penamaan unsur geografis pada lembar peta melalui berbagai metode.

Pada akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC).

Tata cara pembakuan Pemberian nama pada unsur geografis ternyata tidak sesederhana perkiraan banyak orang.

Tata cara untuk menstandarisasi dan mengatur penamaan suatu unsur geografis dikaji dan diatur dalam suatu cabang ilmu yang dikenal sebagai Toponimi. Ilmu ini berkaitan erat dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan Kebudayaan.

  • Fungsi dan arti penting toponimi

Nama-nama geografis berfungsi sebagai label yang mengidentifikasi obyek-obyek geografi pada suatu lokasi tertentu, sekaligus sebagai penunjuk arah secara emplisit.

  • Toponimi dan peta

Toponimi dan peta sangat berkaitan erat. Kartografer atau pembuat peta sangat menaruh perhatian pada aturan pemberian nama-nama geografis sehingga peta yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai penunjuk arah yang efektif.

Ada dua hal yang pelu diperhatikan (Ormeling, 2003);

  1. Pertama pemberian nama geografi sesuai dengan nama resminya (offisial name) pada peta, sehingga ada kesesuaian antara nama peta yang dihasilkan dengan publikasi resmi pemerintah, seperti petunjuk arah di jalan, petunjuk arah di jalan, petunjuk nama tempat, dsb.
  2. Menjamin pengguna peta untuk dapat mengeja nama tersebut dengan benar sehingga pengguna dapat menanyakan lokasi tersrbut dengan benar kepada penduduk lokal.

Contoh kasus di Eropa :

Seorang supir truk dari Valensia, Spayol, akan mengantarkan jeruk ke kota paling barat Jerman yang dalam bahasa Spayol di kenal dengan nama Aguas Gran.

Ketika melintasi Perancis kota tersebut di kenal dengan nama Aix-la Chapelle, sesaat sebelum sampai lokasi, sopir tersebut melintasi wilayah Belgia yang bebahasa Belanda dan mereka menyebut kota tersebut dengan Aken.

Begitu sampai dilokasi name-board yang terpampang untuk kots tersebut dalam bahasa Jerman adalah Aachen. Bayangkan apa yang terjadi jika sopir tersebut baru pertama kali menuju kota tersebut. (Ormeling, 2003).

Mengingat hal tersebut, maka perlu dilakukan standarisasi penamaan obyek geografis yang befungsi untuk menghindari kerancuan atau ambiguity seperti contoh di atas.

Kaidah Toponimi

Kaidah Toponimi adalah aturan-aturan dalam melakukan pembuatan toponim atau nama-nama tempat dan objek geografi.

Pada level dunia badan yang memfasilitasi standarisasi penamaan geografis adalah united group pf expert on geographical names atau UNGEGN.

Sedangkan pada level nasional difasilitasi oleh panitia pemberian nama-nama geografis ( PPNG), yang merupakan perkembangan dari panitia Tetap Nasional ( PANTAPNAS, Sk Mendagri No. 119.05-274/1003 tahun 1993).

Penamaan obyek geografis memiliki aturan dan ketentuan yang tertentu. Pengetahuan ini harus dimiliki oleh seorang kartografer agar peta buatannya tidak melenceng dari aturan dan ketentuan toponimi yang ada dan agar peta tersebut nantinya menjadi peta yang jelas dan mudah dimengerti.

Di Indonesia, prinsip mengenai kebijakan dan prosedur penamaan tempat sudah memiliki ketentuan tersendiri dan digunakan dalam peta rupabumi Indonesia.

Seluruh penentuan mengenai toponimi bertujuan agar nama-nama tempat di seluruh dunia memiliki acuan yang sama dan dapat digunakan di negara-negara lain.

Aspek penamaan dalam toponimi dilihat dari berbagai macam hal :

  • arti ciri khas suatu daerah,
  • aspek sejarah,
  • pengunaan daerah
  • tipologi atau penulisan.

Standar penulisan nama-nama geografis di Indonesia

Berikut ini adalah kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai standar penulisan toponim atau penulisan nama-nama geografis di Indonesia.

  • Aturan 1 : Generic name harus ditulis terpisah dari spesific name. Contoh : Gunung Merapi, Tajung Api, Bukit Suharto, Ci Liwung, Air Belimbing, Pulau Lenceng, Wai Seputih.
  • Aturan 2 : Toponim dapat ditunlis dengan single name dan compound name . Contoh: Single name ; Kota Semarang. Compound name : biasanya merupakan nama tempat (kota,kawasan, permukiman, pedesaan ). Dalam penulisan generic diikuti dengan spesific name yang ditulis menjadi satu kata, contoh : Kota Gunungsitoli, Kota Bukittinggi,Kota Airmadidi, Kota tanjungpinang,Kota Cimahi.
  • Aturan 3 : Jika spesific neme yang diikuti dengan kata sifat atau arah maka ditulis dalam dua kata, contoh :Provinsi Jawa Barat, Kecamatan Kebayoran Baru, Penyabungan Tonga (tonga= tengah), Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sungai TabalongKiwa (Kiwa=  kiri), Pagarutang Jae (Jae= utama).
  • Aturan 4 : Jika spesific name yang diikuti dengan kata sifat atau arah maka ditulis dalam dua kata, contoh : Bagansiapiapi Siringoringo, Mukomuko.
  • Aturan 5: Spesifik name yang diikuti dengan angka penomoran, maka angka harus ditulis dalam kata dan terpisah, contoh : Depok satu, Depok Timur Satu, Koto Ampek (Koto = kota, Ampek = empat).
  • Aturan 6 : Spesifik name yang terdiri dari dua kata benda harus ditulis dalam satu kata, contoh : Tangabosi, Bulupayung, Pagaralam.
  • Aturan 7 : Spesific name yang terdiri dari kata benda diikuti dengan generic name harus ditulis dalam satu kata, contoh : Pintupadang, Pagargunung, Pondoksungai, Kayulaut.
  • Aturan 8 : Spesifik name yang terdiri dari tiga generic name, atau dua kata pertama adalah generic name dan yang ketiga kata benda, maka ditulis dalam satu kata, contoh : Torlukmuaradolok (torluk = teluk), Muarabatangangkola (batang = sungai).
  • Aturan 9: Jangan gunakan nama yang panjang, contoh kasus di Tapanuli Selatan : Purbasinombamandalasena, Dalihannataluhutaraja, Hutalosungparandolok Lorong Tiga, Gunungmanaonunterudang.

Toponimi Desa

Toponimi memiliki peran penting sebagai alat penanda atau pembantu suatu identitas tertentu. Untuk menelusuri suatu sumber toponim dapat dilakukan tiga cara yaitu dengan mencari sumber tulisan, lisan, dan pengamatan (Erikha, 2018: 18).

Sumber tulisan didapat dari buku dan peta serta sumber-sumber internet terkait. Sumber lisan didapatkan dari individu, sedangkan pengamatan dilakukan melalui berkunjung ke tempat yang menjadi target toponim (Erikha, 2018: 18).

Penamaan atau toponimi selalu memuat cerita atau kisah pembentukannya karenanya toponimi kerap dikaitkan dengan identitas suatu tempat sehingga toponimi juga erat berkaitan dengan makna. Sebuah toponimi besar kemungkinannya memiliki makna di balik penamaannya.

Toponimi juga seringkali memiliki banyak makna kultural yang juga menyimpan nilai-nilai budaya di dalamnya. Masyarakat biasa memberikan nama yang berkaitan dengan sebuah kejadian, cerita, dan tokoh.

Banyak tempat menyimpan latar belakang cerita tersendiri yang biasanya dapat memberikan suatu pembelajaran pada masyarakatnya.

Toponimi desa di Kabupaten Ponorogo yang termasuk dalam aspek perwujudan meliputi 33 nama desa. Kategori toponimi latar perairan meliputi 3 desa. Kategori toponimi latar rupa bumi meliputi 6 nama desa.

Nama desa yang termasuk dalam kategori toponimi latar lingkungan alam berjumlah 22 nama desa. Toponimi latar lingkungan alam dibagi menjadi latar lingkungan alam flora berjumlah 22 desa. Sedangkan nama desa berlatar lingkungan alam fauna berjumlah 2 desa.

Toponimi desa berdasarkan aspek kemasyarakatan berjumlah 39 desa. Sebagian besar nama desa berasal dari nama pendiri atau tokoh masyarakat daerah.

Nama desa yang berasal dari nama tokoh masyarakat berjumlah 15 nama. Aspek kemasyarakatan yang berkaitan dengan nama dan bentuk suatu tempat meliputi 7 nama desa dan yang berasal dari tempat interaksi dan interaksi sosial termasuk 3 nama.

Nama desa yang berasal dari kedudukan, gelar, dan profesi meliputi 6 desa. Terdapat 10 nama desa yang berasal dari nama alat, tradisi, ekonomi, dan harapan, sedangkan nama desa yang berasal dari suatu peristiwa ada 3 desa.

Toponimi desa berdasarkan aspek kebudayaan berjumlah 11 desa. Sebagian besar nama desa berasal dari cerita rakyat yang ada di daerah setempat.

Nama desa yang berasal dari cerita rakyat berjumlah 7 desa sedangkan nama desa yang berasal dari legenda hanya ada 1 yaitu Desa Ngindeng. Terakhir, terdapat 2 nama desa yang berasal dari kepercayaan atau mitologi.

Toponimi desa memuat makna yang berkaitan erat dengan filosofi-filosofi kehidupan menurut pandangan masyarakat Jawa.

Menurut temuan tersebut, melalui segi makna 32 nama desa berisikan mengenai nasihat, petuah, aturan, pola pikir atau ajaran yang berkaitan dengan kebiasaan ataupun budaya Jawa yang disampaikan turun temurun secara lisan oleh masyarakat setempat.

Selain mengandung makna, dalam penamaan desa juga terkandung nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. Nilai budaya yang terkandung dalam penamaan desa dibagi menjadi dua yaitu nilai budaya kedamaian dan nilai budaya kesejahteraan.

Nilai budaya kedamaian yang terkandung dalam toponimi desa di Kabupaten Ponorogo berjumlah 5 nilai yaitu nilai kesopansantunan, nilai kejujuran, nilai pikiran positif, nilai kerukunan dan penyelesaian konflik, dan nilai komitmen.

Nilai budaya kesejahteraan yang terkandung dalam toponimi desa di Kabupaten Ponorogo berjumlah 3 nilai yaitu nilai peduli lingkungan, nilai kerja keras, dan nilai pelestarian dan kreativitas budaya.

Dalam toponimi desa di Kabupaten Ponorogo, semua desa memuat makna dan asal usul cerita penamaan. Hal ini memberikan gambaran dari asal penamaannya bahwa masyarakat setempat tidak sembarangan dalam memberi nama.

Selain itu terdapat harapan dan makna tertentu yang ada di balik nama desa. Meskipun begitu, tidak semua masyarakat setempat memahami arti dan makna penamaan desa. Masyarakat seringkali hanya mengucapkannya tanpa tahu cerita dan potensi sejarah yang dimiliki.

Demikianlah pembahasan mengenai toponimi. Semoga bermanfaat untuk kita semua, sekian terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *